Merbabu (18-19 Oktober 2013)
Salam Lestari....
Pendakian pertama ditahun 2013 ini yaitu Gunung Merbabu (3142 mdpl). Agak telat memang mengingat ini adalah bulan oktober, jadi hampir setahun ini tidak naik gunung sama sekali.
Pendakian yang tidak pernah kami rencanakan dalam waktu yang lama namun akhirnya terlaksana juga. Planning hanya kurang dari 1 minggu sebelum jadwal pendakian (18-20 Oktober) dimulai. Pastinya tidak banyak teman yang bisa ikut karena terlalu mendadaknya acara pendakian kali ini. Hanya 2 orang, yaitu saya dan Ali yang siap untuk menyelesaikan trip ini.
Mungkin bisa dibilang nekad, karena kami berdua belum pernah sama sekali mendaki gunung di Jawa Tengah, apalagi Merbabu ataupun Merapi (rencana awal memang Merbabu dan Merapi). Namun dengan tekad dan niat yang kuat kami pun memberanikan memulai trip Merbabu ini dengan berbekal informasi dari rekan sesama pendaki dan internet.
18 Oktober 2013
Berangkat dari kota tercinta, Bojonegoro pukul 00.30 dinihari. Berharap sebelum shubuh sudah bisa berisitirahat di Sragen atau Solo. Namun takdir berkata lain, baru sampai Ngawi perjalanan kami sudah terhenti karena ban kempes, terpaksa menginap di Ngawi sambil menunggu tambal ban buka esok hari.
Setelah selesai ditambal, sekitar jam 05.30 kami melanjutkan perjalanan menuju Sragen, Solo, dan Boyolali. Boyolali memang menjadi tujuan kami karena pendakian akan kami mulai dari jalur selatan, yaitu jalur Selo, di Desa Selo, Boyolali.
Berbekal peta Jawa Tengah dan sedikit bertanya akhirnya kami tiba di Boyolali sekitar jam 9 pagi. Perjalanan kami lanjutkan menuju Selo, desa terakhir dibawah kaki gunung Merbabu dan Merapi. Jalan yang kami lalui lumyan menanjak, karena memang Selo terletak di dataran tinggi.
Tidak sampai 1 jam perjalan, kami sudah sampai di Polsek Selo. Setelah laporan dan bertanya pada petugas kepolisian kami pun bergegas menuju Pos Perijinan Merbabu di kediaman Pak Parman. Di Selo sendiri kurang lebih ada 3 pos perijinan, namun yang paling ramai dan banyak dikunjungi para pendaki adalah rumah Pak Parman. Mungking memang letaknya yang lebih strategis dan paling depan, sehingga lebih mudah diakses.
Istirahat, ngurus perijinan, dan packing. Setelah semua beres, pendakian pun dimulai sekitar jam 1 siang. Cukup panas memang cuaca siang hari disini.
Keluar dari rumah-rumah warga, jalur memasuki hutan pinus. Disini track tidak terlalu menanjak dan cenderung landai. Hanya sedikit menanjak dan kemudian landai, sampai pada Pos I Dok Malang.
Dari pos I menuju pos II akan melewati tikungan macan, track sedikit menanjak dengan jalanan dari tanah yang nampaknya bekas longsor kecil. Butuh waktu hampir 3 jam untuk sampai pos II Pandean dari gerbang masuk pendakian.
Perjalanan menuju pos III dengan track sedikit menaik namun tidak terlalu terjal. Hanya butuh 1 jam untuk sampai pos III. Namun dari pos III menuju ke pos IV (Sabana I) jalan sangat menanjak dan cukup terjal. Butuh tenaga ekstra untuk bisa melewati bukit untuk sampai di Sabana I.
Sebenarnya kami ingin bermalam dan mendirikan tenda di Sabana II, namun karena kondisi cuaca yang tidak memungkinkan akhirnya kami putuskan bermalam di Sabana I. Selain sudah mulai gelap, angin kencang disertai kabut tebal juga menjadi pertimbangan kami untuk tidak melanjutkan perjalanan.
19 Oktober 2013
Sunrise dari sabana I tidak kalah dengan pemandangan sunrise di puncak kentnheng songo, ditambah pemandangan indah padang sabana yang menghampar luas menambah keelokan gunung Merbabu.
Tak puas rasanya menikmati keindahan Merbabu hanya dari Sabana I. Setelah sarapan roti dan susu seadanya, perjalanan kami lanjutkan menuju puncak Merbabu. Butuh waktu 2 jam untuk sampai di puncak Triangulasi dari Sabana I.
Dari puncak Triangulasi perjalanan berlanjut ke Puncak Kntheng Songo yang hanya berjarak beberapa ratus meter saja. Pemandangan menakjubkan tersaji dari kedua puncak ini.
Puas memandangi keAgungan karya Illahi dan mengabadiakan momen, kami pun turun menuju sabana I. Istirahat, masak, makan, dan kemudian packing. Perjalanan turun tidak butuh waktu lama, tidak sampai 3 jam kita sudah sampai di rumah pak Parman dan mengurus laporan perijinan.
Kami beristirahat cukup lama sembari berbincang dengan para pendaki lain, bertukar informasi dan pengalaman untuk menambah ilmu kami sesama penggiat alam.
Sore hari kami putuskan untuk kembali pulang kembali ke Bojonegoro. Sebuah pengalaman istimewa dan tak terlupakan pendakian Gunung Merbabu vis Selo, Boyolali.
Suasana malam di Kota Pelajar
Setelah capek bersuka ria bersama teman-teman di Pantai Parangtritis dan Kaliurang, kini saatnya melepas malam di tengah kota pelajar, Yogyakarta. Berkeliling di sekitar Keraton, Masjid Agung, dan alun-alun kidul kota Yogyakarta tidak membuat lelah, tapi justru membuat kami bersemangat untuk terus menjelajahi seluk beluk kota Jogja di petang hari.
Suasana ramai nampak menghiasi kota Gudeg di senja hari. Para wisatawan lokal dan juga asing, para penjual oleh-oleh yang menawarkan dagangannya, para tukang becak yang lalu lalang membawa para wisatawan, dan juga para penjual jajanan kaki lima disekitar alaun-alun dan jalan malioboro. Khusus untuk Malioboro menjadi kawasan favorit para wisatawan yang sudah terkenal hingga keluar negeri.
Di Malioboro kita bisa berbelanja semua jenis oleh-oleh khas Jogja, seperti kaos, kerajinan, dan makanan. Tentu dengan harga yang relatif lebih murah khas pedagang pinggir jalan. Jalan ini juga menjadi sasaran objek fotografi para wisatawan.
Di sekitarnya juga ada banyak sekali bangunan bersejerah, seperti bangunan bagian dari keraton kesultanan, BNI, Pos Indonesia, dan bangunan-bangunan lain yang memiliki sejarah penting bagi bangsa Indonesia.
Libur Lebaran di Kota Gudeg
Agenda tahunan bersama teman-teman setelah lebaran yaitu jalan-jalan bersama. Tahun ini Jogja menjadi destinasi wisata saya bersama teman-teman. Lokasi yang dipilih adalah Pantai Parangtritis, Kaliurang, Keraton Yogyakarta dan wisata belanja Malioboro.
Berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya jika ke Jogja yang menjadi tujuan utama adalah Candi Borobudur dan Prambanan.
Parangtritis
Kaliurang
Keraton & Masjid Agung
Menatap Merapi dari Kaliurang
Keinginan untuk mendaki puncak Gunung Merapi masih belum tercapai, terpaksa hanya bisa menikmati keindahannya dari lereng di Kaliurang. Salah satu gunung yang masih aktif hingga sekarang ini memang menjadi salah satu tujuan para pendaki.
Gunung Merapi terakhir meletus dahsyat pada 2010 silam dan menewaskan beberapa korban, diantaranya Mbah Marijan, juru kunci merapi. Setelaha meletus, kondisi geografis berubah drastis dan menjadi daya tarik bagi wisatawan yang ingin melihat bekas letusan yang sangat dahsyat itu.
Kaliurang merupakan wisata alam yang terletak di lereng gunung Merapi. Suasananya sejuk yang masih dipenuhi hutan hijau dan beberapa hewan seperti kera.
Kera sedang menggendong anaknya
Banyak wisatawan yang berkunjung ke tempat ini terutama pada hari libur. Disini juga ada telaga, air terjun dan taman bermain, cocok untuk keluarga yang ingin berkumpul bersama. Jika ingin melihat Gunung Merapi cukup berjalan mendaki bukit sekitar 1Km. Namun sayangnya saat saya kesana merapi tertutup kabut.
Wajah Merapi dilihat dari bukit di Kaliurang
Dari atas bukit nampak jelas Kali Adem yang merupakan salah satu sungai aliran lava letusan Gunung Merapi. Bekas lahar dingin yang merusak vegetasi di sekitar lereng juga masih bisa dilihat. Dalam benak ingin rasanya mendaki Merapi sampai puncak. Semoga lain kali bisa kesana dan menikmatinya.
Jadah Tempe, Burger ala Jogja
Gak cuma kedai modern ataupun negara asing yang punya makanan lezat bernama Burger. Jogja yang dikenal memiliki berbagai macam makanan tradisional juga memiliki makanan lezat layaknya burger, namun dikemas dengan bahan yang berbeda. Kalau di barat punya Burger dengan roti diisi daging dan sayuran, di Jogja terbuat dari jadah yang tengahnya diisi tempe atau tahu.
Jadah Tempe, nama makanan tradisional Jogja yang bisa ditemukan di Jogja bagian utara atau disekitar kawasan wisata Kaliurang. Jadah merupakan panganan yang terbuat dari ketan yang direbus dan ditumbuk lembut. Sedangkan isiannya bisa dipilih antara tempe atau tahu yang sudah dimasak dan duberi bumbu khas.
Saya mencicipinya saat berkunjung ke wisata Kaliurang di Lereng Gunung Merapi. Kombinasi antara jadah dan ketan memberi rasa yang unik dan enak khas lidah orang Indonesia. Konon, makanan ini adalah makanan kesukaan Sri Sultan Hamengkubuwono IX sejak tahun 1950-an.
Harganya pun cukup murah, hanya dengan 3rb - 5rb sudah bisa mendapatkan 1 bungkus Jadah Tempe yang berisi 3-5 porsi. Dengan udara yang sejuk khas dataran tinggi, menambah suasana enak jika mencicipi makanan ini ditemani kopi hangat ataupun teh hangat.
Ingin mencoba makanan kesukaan Sri Sultan???......... datang saja ke Jogja.
Satu Grup sama Medina Kamil
Lomba 1 grup sama Medina Kamil
Foto ini diambil 2010 lalu di Ranu Kumbolo.
Masih di Jambore Jejak Petualang 2012 di Ranu Kumbolo, setelah upacara bendera langsung main game-game seru bareng para presenter JP. Peserta dibagi dalam 4 tim, tiap tim dipimpin oleh salah satu presenter JP.
Beruntung,,,tim ku diwakili oleh mbak Medina Kamil, presenter favorit hahahaaa...
Setelah game selesai tinggal bagi-bagi hadiah (bagi yang menang hahahaa...). Alhamdulillah Tim ku dapat peringkat 2 dan dapat beberapa hadiah menarik, diantaranya sleeping bag, jaket, kaos, celana, dll.
Perlu perjuangan untuk mendapat hadiah ini, karena harus berebut dengan peserta lain yang mayoritas baru ku kenal disini. Nah dalam perebutan itu, aku dapat Jaket dan sampe sekarang pun masih selalu aku pakai kalo lagi ada kegiatan.
Menuju Ranu Kumbolo
Menuju Ranu Kumbolo
Kabut masih menyelimuti pandangan, suhu dingin menyelimuti kulit, dan stamina yang sudah cukup terkuras. Nampak dari kejauhan terlihat samar sebuah kubangan air ditengah bukit-bukit hijau yang menjulang tinggi. Memori dua tahun lalu kembali muncul, Ranu Kumbolo tetap mempesona.
Bersama ketiga sahabat, berjalan beriringan, menembus lebatnya jalan, menahan perut kosong, tetap berjalan menuju ranu kumbolo.
Panorama alam yang disajikan Sang Maha Pencipta sedikit mengobati kelelahan dan keroncongan. Kami pun mempercepat langkah kami untuk meneruskan perjalanan.
Sedikit menyesal dengan adanya sampah dari oknum pendaki yang mengaku 'Pecinta Alam', namun sama sekali belum mencerminkan cinta pada alam. Namun saya yakin, masih ada sodara-sodara yang mencintai dan lebih menghargai alam tanpa mengotori dan merusaknya.
Pecel Pos 1
Pecel Pos 1, Lawu
Sarapan pecel sudah biasa, namun coba sarapan pecel di gunung Lawu, pasti akan sangat mengesankan. Dengan rasa dan harga yang relatif sama, namun karena dinikmati di alam terbuka bersama teman-teman sejalan sungguh akan memberikan kesan yang berbeda.
Agung, teman sarapan sepiring, nampak menikmati lezatnya pecel di pos 1 pendakian Gunung Lawu. Satu piring berdua, iya memang akan terasa lebih nikmat jika dinikmati bersama.
Iwan dan Ikhwan (belakang) nampak sudah selesai terlebih dulu, mungkin sudah kelaparan hahahahaaaa...
Jika berencana ke Lawu, sempatkan untuk mencicipi pecel ini. Tidak perlu khawatir akan kehabisan bekal, karena selain di Pos 1, di atas masih ada warung serupa. Satu warung di dekat sendang Drajat, dan satunya lagi warung milik mbah Yem yang sudah dikenal oleh para pendaki.
Langganan:
Postingan (Atom)